Ini hari rabu. Ya, hari rabu!
Bukan hari yang spesial. Bukan
hari ulang tahunku. Ataupun hari ulang tahun pernikahanku dengan Bang Hamidi.
Bukan!
Ini
hari rabu. Aku setengah berlari, sesekali meloncat untuk
menghindari tanah yang becek akibat
hujan. Nafasku memburu, keningku penuh dengan
butiran keringat, sandal jepitku sempat terlepas beberapa kali,
jilbabku pun mencong sana-sini. Tak
sempat aku membetulkannya.
Ini hari rabu, aku terus berlari. Memasuki
gang-gang sempit perkampungan di pinggir
kelapa gading, sambil berharap cepat sampai ke rumahku. Ada beberapa orang yang mengenalku menyapa tapi
tak ku pedulikan.
Ini hari rabu!
Ketika ku buka pintu rumahku, ku berharap ada Zizi
di sana. Ia menyambutku dengan senyumnya
yang khas. Zizi anakku! Kulitnya hitam manis, senyumnya indah, giginya putih bersih, matanya kecokelatan,
alis matanya sedikit tipis, rambutnya
panjang sebahu. Ada tahi lalat di ujung pipinya. Manis!
Ini hari rabu. Zizi berjanji akan pulang hari
ini. Di senja yang telah ku tunggu. Hari
rabu! Meskipun hari ini sudah rabu ke tujuh, tapi aku terus berharap anakku akan pulang hari ini. Hari
rabu!
Iya, Zizi. dia berjanji akan pulang hari rabu. Dan
setiap hari rabu juga aku pulang cepat
dari pasar dan berharap anakku ada di rumah. tapi ia tidak ada! Kemana perginya anak semata wayangku
itu?
Ku buka kembali kertas yang sudah kusam.
Warnanya sudah kecokelatan. Ini surat
dari Zizi. Ku baca lagi surat ini dengan tangan bergetar, dan tangiskupun terisak.
“Ibu, Zizi mau pamit. Zizi mau
mencari kerja. Ibu tidak usah mencari Zizi. Zizi berjanji akan pulang hari
rabu.”
Kata tetangga, ia pergi dengan memakai kemeja
putih dan celana bahan hitam. Zizi sempat pamit dengan tetangga kami. Ia hanya
bilang ingin mencari kerja. Waktu itu
hari rabu. Sudah tujuh minggu yang lalu.
Aku tahu keinginan Zizi. Selepas
sekolah menengah kejuruan, ia ingin sekali melanjutkan pendidikan ke bangku
kuliah. “Aku ingin membahagiakan Ibu.
Zizi ingin membahagiakan Bapak.
Memberikan kalian hadiah. Kebahagiaan! Zizi ingin menghidupkan
hidup Zizi, Bu” Katanya waktu aku bilang
bahwa aku tidak mampu lagi membiayai
pendidikannya. Jangankan untuk melanjutkan kuliah, untuk makanpun aku sering meminjam pada tetanggaku
di pasar.
Ah, maafkan ibu ini, Nak! Tapi tak perlu lah kau
pergi dari rumah. Meninggalkan Ibu &
Bapakmu. Biarlah kita hanya menyantap tempe
goreng sepotong dan dua butir nasi, yang penting kita selalu
bersama. Dan tak ada orang lain yang
tahu tentang kondisi keluarga kita. Kemana
dirimu, Nak?
*****
Bang Hamidi baru sampai rumah. Ia baru pulang
ngojeg. Wajahnya sedikit muram. Terlihat
sangat lelah. Jaketnya semerawut. Biasanya begini ekspresinya ketika hasil dari
ngojeg tak akan memenuhi pengeluaran untuk makan kami besok.
Aku mendekatinya dengan senyum
tipis, walau hatiku pun sama semerawutnya. Lalu ku cium punggung tangannya yang
legam karena tersorot sinar matahari setiap hari.
“Ingin kopi atau teh saja, Bang?”
aku menawarkan pilihan.
“Teh saja.”
Lantas aku beranjak ke dapur yang
hanya tersekat bilik dari ruangan ini.
Tok.. tok.. tok..
“Assalamu’alaikum,” suara seorang gadis muda terdengar dari balik pintu kayu
rumah kami.
“Wa’alaikumsalam,” aku dan Bang
Hamidi menjawab bersamaan.
“Biar aku saja Bang yang buka,”
hatiku bergemuruh, harap yang sekian lama ini, akankah ini hari Rabu yang Zizi
maksudkan itu?
Aku segera mengantarkan teh ke
meja Bang Hamidi, lalu setengah berlari menuju arah pintu. Tak terasa, sudah
mengalir anak sungai dari kedua mataku, penglihatanku mengabur seketika.
“Zizi..?!!” aku memeluknya erat, erat
sekali. Aku tak mau lagi kehilangannya, putri tersayangku, tercintaku
satu-satunya. Hanya kepadanya kucurahkan seluruh kasih sayangku. Dia permataku,
harapanku ketika tua nanti aku sudah tak bisa lagi melakukan apapun. Dia berlianku,
yang dari do’anya, hanya dari do’anya yang bisa menolongku di akhirat kelak.
“Zizi, jangan pergi lagi, Nak!
Jangan..!” aku terus memeluknya, tapi Bang Hamidi tiba-tiba menarikku, mencoba
memisahkanku dengan Zizi.
“Bu, jangan kayak gini, ayo lepas, lepas..!” Bang Hamidi
kembali menarikku, kali ini lebih kencang, pelukanku pun terlepas.
Aku sekuat tenaga melepaskan diri
dari tangan kekar Bang Hamidi untuk memeluk lagi buah hatiku. Tapi ketikaku
berhasil, gadis yang kini lebih kurus dari terakhir kali ku melihatnya itu,
malah menghindariku.
Aku perlahan mulai mengatur
emosiku, mengkin Zizi takut apabila aku bersikap histeris dan berlebihan
seperti ini. Atau bahkan dia menyangka aku sudah gila? Iya, aku hampir gila
karena menunggumu yang tak kunjung datang, Nak. Tapi untungnya kau lebih cepat
datang kepadaku dari pada penyakit kejiwaan itu.
Aku menyusut air mataku dengan
jilbab yang ku kenakan. Perlahan, wajah itu mulai jelas kupandang…
Matanya, hidungnya, bibir, dan
air mukanya. Zizi kah ini? Apakah waktu telah sedikit merubah parasmu hingga
menjadi semakin cantik seperti ini? Tapi mana tahi lalat di ujung pipi kananmu
yang serupa dengan punya ibumu ini? Hilangkah? Kau operasikah agar tak sama
lagi dengan ibu? Agar ibu tak mengenalimu?
“Aku bukan Zizi, Bu. Aku Ziza,
adik Zizi. Aku… mencari Bapak di sini.”
“Bapak? Adik Zizi? Bicara apa
kamu, Nak? Kamu anak ibu satu-satunya!”
Kedua mata kami bertemu, kulihat
sorot wanita lain di dalamnya. Lalu ku lempar pandanganku ke Bang Hamidi yang
wajahnya kini pucat pasi.
Duh, Rabu… inikah hari yang
kutunggu-tunggu itu?
Penulis : Syafroni / @kang_onii
Di tulis ulang oleh : Riana Yahya
Karya asli cerpen ini bisa dilihat di => http://lembarbernyawa.blogspot.com/2012/08/rabu.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar