Sabtu, 25 Agustus 2012

Tetap BEDA!

"Kenapa Tuhan kita berbeda?" tangis mega pecah. Kali ini ia balik badan membelakangi kekasihnya, Gumay.
"Tidak. Tuhan kita tidak beda. ." Suara gumay terdengar sedikit serak.
"Lalu??" mega menyibak air mata dengan punggung jari telunjuknya.
"Lalu apa? Tetap saja, aku tidak akan menerima ide gilamu itu. Itu ide konyol. Jangan nekat, mega!!" ucap gumay.
"hah? Semua akan mudah, gumay! Kita tinggal keluar negeri lalu menikah disana. Kalau perlu kita tinggal disana." Mega terus meyakinkan Gumay untuk nikah lari meskipun kedua orang tua mereka sudah jelas-jelas tidak menyetujui hubungan keduanya.

"Mega, dengar! Ini bukan soal pernikahan. Tapi ini soal keyakinan. Aku gak mau kita nikah tapi keyakinan kita berbeda." Bantah gumay.
Mega hanya diam, seperti kehabisan kata-kata. Kini mata gadis itu sudah tidak basah oleh air mata. Gadis dari anak seorang anggota DPR itu sudah terlanjur jatuh hati pada pria yg ia kenal sejak SMA itu. Dan kini keduanya sedang kuliah di perguruan tinggi swasta di jakarta barat. Sedangkan Gumay, selain kuliah ia aktif menulis di sebuah majalah remaja. dari sanalah Gumay mendapat tambahan uang jajan & untuk membeli buku-buku. Ia sadar kondisi keluarganya yang sederhana.

Sejak awal pacaran, keduanya tahu tentang perbedaan keyakinan diantara mereka. Tapi tak dipedulikan. Sekarang, saat kedua orang tua mereka tahu & tak merestui, dan ketika cinta mereka semakin kuat, kedua pemuda itu, Mega & Gumay menyadari bahwa mereka benar-benar berbeda. Tapi mega nekat akan teteap menikah meski berbeda.

"Sekarang menurutmu apa yang harus kita lakukan?" Mega membuka pembicaraan di tengah riuhnya suara ombak. Langit gelap, hanya beberapa bintang yg mengintip, sedangkan angin terus membelai lembut kedua pemuda itu.

Gumay hanya diam. Tetap diam.
“Sayang…” ucap mega tak sabar menunggu keputusan gumay.
"Kita Putus!" ucap Gumay singkat.
Jantung mega seperti tertekan batu tajam ketika mendengar itu. Riuhnya suara ombak semakin jelas terdengar, hembusan angin seperti menusuk setiap pori di tubuh Mega. Sakit!
"Lebih baik kita putus sekarang" Gumay mengulang ucapannya yg membuat mega seperti tersambar petir. Membuat mega semakin sakit.
Mata mega kembali basah. Isak tangisnya mulai terdengar. Dan kini perasaan bersalah mulai timbul dihati Gumay. Tapi iya yakin keputusan yang ia ambil adalah benar.
"Apa itu jujur dari hatimu? Apa kamu sudah tidak mencintaiku lagi? Hah?" ucap mega sambil menarik-narik kerah baju Gumay.
"Ya, mega. Sekrang aku sadar. Kita benar-benar berbeda. Kecuali..." perkataan gumay terputus.
"Kecuali apa, gumay? Kecuali aku mengikuti agamamu? Itu yang kamu mau?" nada suara mega meninggi.
"tidak. Kecuali kita benar-benar menerima perbedaan kita. Semua selesai. Semua cukup sampai disini."

"Tuhan tidak adil. Kenapa Tuhan harus menciptakan perbedaan. Kenapa kita harus berbeda?" mega tak bisa menerima semua.
"Loh, bukankah hidup itu pilihan? Dan bukankah semua pilihan ada konsekuensinya. Inilah pilihan kita. Inilah pilihan kita yang menamai Tuhan kita dengan berbeda. Meskipun kita sudah tahu bahwa Tuhan itu satu. kita sudah tahu bahwa Tuhan didunia ini satu. Tapi Kita memilih utk memanggil & mendatangi Tuhan kita dengan cara berbeda."

Untuk yg kesekian kalianya, Mega menyibak air matanya dengan punggung jari telunjuknya dan berkata lembut...
"Baik, aku terima keputusanmu, Gumay. Hidup adalah pilihan & setiap pilihan ada konsekuensinya. Aku setuju. Dan ini… inilah konsekuensi atas cinta kita, perpisahan! Karena kita berbeda. Karena kita menamai Tuhan kita dengan beda."
"Betul Mega.. Hiduplah dengan pilihanmu. Dan aku hidup dengan pilihanku. Kita memang berbeda tapi..."
"Kita memang berbeda tapi kita tetap manusia."

 ~tamat~

Karawang,
23 agustus 2012.


RABU (versi 2)

Ini hari rabu. Ya, hari rabu!
Bukan hari yang spesial. Bukan hari ulang tahunku. Ataupun hari ulang tahun pernikahanku dengan Bang Hamidi. Bukan!
Ini  hari rabu. Aku setengah berlari, sesekali meloncat untuk menghindari  tanah yang becek akibat hujan. Nafasku memburu, keningku penuh dengan  butiran keringat, sandal jepitku sempat terlepas beberapa kali, jilbabku  pun mencong sana-sini. Tak sempat aku membetulkannya.
Ini  hari rabu, aku terus berlari. Memasuki gang-gang sempit perkampungan di  pinggir kelapa gading, sambil berharap cepat sampai ke rumahku. Ada  beberapa orang yang mengenalku menyapa tapi tak ku pedulikan.
Ini hari  rabu!
Ketika  ku buka pintu rumahku, ku berharap ada Zizi di sana. Ia menyambutku  dengan senyumnya yang khas. Zizi anakku! Kulitnya hitam manis, senyumnya  indah, giginya putih bersih, matanya kecokelatan, alis matanya sedikit  tipis, rambutnya panjang sebahu. Ada tahi lalat di ujung pipinya. Manis!
Ini  hari rabu. Zizi berjanji akan pulang hari ini. Di senja yang telah ku  tunggu. Hari rabu! Meskipun hari ini sudah rabu ke tujuh, tapi aku terus  berharap anakku akan pulang hari ini. Hari rabu!
Iya,  Zizi. dia berjanji akan pulang hari rabu. Dan setiap hari rabu juga aku  pulang cepat dari pasar dan berharap anakku ada di rumah. tapi ia tidak  ada! Kemana perginya anak semata wayangku itu?
Ku  buka kembali kertas yang sudah kusam. Warnanya sudah kecokelatan. Ini  surat dari Zizi. Ku baca lagi surat ini dengan tangan bergetar, dan  tangiskupun terisak.
“Ibu, Zizi mau pamit. Zizi mau mencari kerja. Ibu tidak usah mencari Zizi. Zizi berjanji akan pulang hari rabu.”
Kata  tetangga, ia pergi dengan memakai kemeja putih dan celana bahan hitam. Zizi sempat pamit dengan tetangga kami. Ia hanya bilang ingin mencari  kerja. Waktu itu hari rabu. Sudah tujuh minggu yang lalu.
Aku tahu keinginan Zizi. Selepas sekolah menengah kejuruan, ia ingin sekali melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah.  “Aku ingin membahagiakan Ibu. Zizi ingin membahagiakan Bapak.  Memberikan kalian hadiah. Kebahagiaan! Zizi ingin menghidupkan hidup  Zizi, Bu” Katanya waktu aku bilang bahwa aku tidak mampu lagi  membiayai pendidikannya. Jangankan untuk melanjutkan kuliah, untuk  makanpun aku sering meminjam pada tetanggaku di pasar.
Ah,  maafkan ibu ini, Nak! Tapi tak perlu lah kau pergi dari rumah.  Meninggalkan Ibu & Bapakmu. Biarlah kita hanya menyantap tempe  goreng sepotong dan dua butir nasi, yang penting kita selalu bersama.  Dan tak ada orang lain yang tahu tentang kondisi keluarga kita. Kemana  dirimu, Nak?
 
*****
Bang  Hamidi baru sampai rumah. Ia baru pulang ngojeg. Wajahnya sedikit  muram. Terlihat sangat lelah. Jaketnya semerawut. Biasanya begini ekspresinya ketika hasil dari ngojeg tak akan memenuhi pengeluaran untuk makan kami besok.
Aku mendekatinya dengan senyum tipis, walau hatiku pun sama semerawutnya. Lalu ku cium punggung tangannya yang legam karena tersorot sinar matahari setiap hari.
“Ingin kopi atau teh saja, Bang?” aku menawarkan pilihan.
“Teh saja.”
Lantas aku beranjak ke dapur yang hanya tersekat bilik dari ruangan ini.
Tok.. tok.. tok.. “Assalamu’alaikum,” suara seorang gadis muda terdengar dari balik pintu kayu rumah kami.
“Wa’alaikumsalam,” aku dan Bang Hamidi menjawab bersamaan.
“Biar aku saja Bang yang buka,” hatiku bergemuruh, harap yang sekian lama ini, akankah ini hari Rabu yang Zizi maksudkan itu?
Aku segera mengantarkan teh ke meja Bang Hamidi, lalu setengah berlari menuju arah pintu. Tak terasa, sudah mengalir anak sungai dari kedua mataku, penglihatanku mengabur seketika.
“Zizi..?!!” aku memeluknya erat, erat sekali. Aku tak mau lagi kehilangannya, putri tersayangku, tercintaku satu-satunya. Hanya kepadanya kucurahkan seluruh kasih sayangku. Dia permataku, harapanku ketika tua nanti aku sudah tak bisa lagi melakukan apapun. Dia berlianku, yang dari do’anya, hanya dari do’anya yang bisa menolongku di akhirat kelak.
“Zizi, jangan pergi lagi, Nak! Jangan..!” aku terus memeluknya, tapi Bang Hamidi tiba-tiba menarikku, mencoba memisahkanku dengan Zizi.
“Bu, jangan  kayak gini, ayo lepas, lepas..!” Bang Hamidi kembali menarikku, kali ini lebih kencang, pelukanku pun terlepas.
Aku sekuat tenaga melepaskan diri dari tangan kekar Bang Hamidi untuk memeluk lagi buah hatiku. Tapi ketikaku berhasil, gadis yang kini lebih kurus dari terakhir kali ku melihatnya itu, malah menghindariku.
Aku perlahan mulai mengatur emosiku, mengkin Zizi takut apabila aku bersikap histeris dan berlebihan seperti ini. Atau bahkan dia menyangka aku sudah gila? Iya, aku hampir gila karena menunggumu yang tak kunjung datang, Nak. Tapi untungnya kau lebih cepat datang kepadaku dari pada penyakit kejiwaan itu.
Aku menyusut air mataku dengan jilbab yang ku kenakan. Perlahan, wajah itu mulai jelas kupandang…
Matanya, hidungnya, bibir, dan air mukanya. Zizi kah ini? Apakah waktu telah sedikit merubah parasmu hingga menjadi semakin cantik seperti ini? Tapi mana tahi lalat di ujung pipi kananmu yang serupa dengan punya ibumu ini? Hilangkah? Kau operasikah agar tak sama lagi dengan ibu? Agar ibu tak mengenalimu?
 
“Aku bukan Zizi, Bu. Aku Ziza, adik Zizi. Aku… mencari Bapak di sini.”
“Bapak? Adik Zizi? Bicara apa kamu, Nak? Kamu anak ibu satu-satunya!”
Kedua mata kami bertemu, kulihat sorot wanita lain di dalamnya. Lalu ku lempar pandanganku ke Bang Hamidi yang wajahnya kini pucat pasi.
Duh, Rabu… inikah hari yang kutunggu-tunggu itu?
 
Penulis : Syafroni / @kang_onii
Di tulis ulang oleh : Riana Yahya
Karya asli cerpen ini bisa dilihat di => http://lembarbernyawa.blogspot.com/2012/08/rabu.html

Kamis, 23 Agustus 2012

Aku mencintaimu karena Allah!

"Aku mencintaimu karena Allah" mata zizi berkaca-kaca ketika mengatakan itu. Sedangkan pria disampingnya hanya diam. Menundukan kepala sambil mengatur nafasnya yang tak beraturan. Nama pria itu afkar!

Afkar & Zizi sudah kenal dekat sejak kecil. Namun berpisah ketika Afkar harus menempuh pendidikan SMA-nya di sebuah pesantren di Serang - Banten. Lepas itu Afkar langsung melanjutkan sarjananya di Universitas Gajah Mada – Jogjakarta mengambil jurusan kehutanan. Sedangkan Zizi mengambil jurusan kedokteran di UI. Dalam waktu yang lama itu Zizi memendam perasaan sayangnya pada Afkar. Rasa sayang yang tak biasa. Bukan sekedar sebagai sahabat dan kakak, tapi Zizi mau lebih.

Zizi tumbuh menjadi wanita yg sholehah. Selalu tampil anggun dengan gamis & jilbabnya yang rapih. Juga, Zizi aktif mengikuti organisasi-organisasi di kampusnya. Khususnya di keagamaan. Panggilan khas dari teman-teman Zizi adalah "Bidadari dunia". Ah, tampak berlebihan memang. Tapi itulah Zizi. Si cantik, pintar, sholehah, baik, suka menolong & selalu tersenyum bagaimanapun keadaannya.

Afkar, tumbuh menjadi pria dewasa yang tangguh. Rela berjuang demi sesuatu yg benar. Dan demi pendidikan sarjananya. Selama di jogjakarta, segala pekerjaan sudah dicipi afkar. Demi membiayahi kehidupannya disana.

Afkar & Zizi. Dua anak kampung asal sumedang itu bukanlah lahir dari keluarga berharta banyak. Bukan! Zizi masuk fakultas kedokteran UI karena kepandaiannya hingga dia dapat beasiswa 100% dari pemerintah sumedang. Begitupun dengan Afkar.

Sekarang, Zizi sudah menjadi dokter. Afkar sudah mendapat gelarnya & sempat bekerja 2 tahun di Kalimantan.

Suatu hari, mata kanan zizi tak berhenti berkedut, "kamu mau nangis kali, Zi" kata ayahnya. Lalu Malam harinya, penyakit ayah zizi kambuh, ketika hendak dibawa kerumah sakit, nafasnya terhenti. Begitu cepat! Dan sejak itu, Zizi menganggap ketika matanya berkedut adalah pertanda bahwa ia akan menangis. Bahwa ia akan kecewa. Ia akan kehilangan.

****  

Langit yang temaram, masih setia menemani kedua pemuda itu yang sedang duduk disebuah saung tak jauh dari jalan raya. Kendaraan terlihat mondari-mandir dan sedikit mengeluarkan suara bising. Tapi kedua pemuda itu asyik dengan kebisuannya. Padahal masing-masing dari mereka tahu bahwa mereka amat rindu.

"Aku mencintaimu karena Allah. Karena dimensi waktu yg ada. Karena nafas." kali ini nada zizi meninggi. Ia tak mau memendam perasaan itu terlalu lama lagi. Baginya tak masalah seorang perempuan terlebih dulu mengatakan cinta kepada seorang pria, toh, kalau memang Afkarpun cinta, pernikahan adalah jalan terbaik. Tak mau ditunda. Zizi menatap ke arah Afkar.

"eeee.. Terimakasih..." Afkar mulai membuka mulutnya saat langit hampir gelap. Sebentar itu Afkar menunda perkataannya. Yang membuat Zizi menunggu dengan perasaan cemas dan nafas yang memburu.

Seketika hening membunuh kembali. Wanita dengan gamis cokelat itu semakin cemas, tangan halusnya memegangi matanya yang mulai... Berkedut!

Wajah afkar menatap kelangit yg semakin gelap. Dan melanjutkan perkataannya. Sedangkan wanita itu...

Kini tidak lagi mencemaskan cintanya pada Afkar, tapi pada kedutan dimatanya, pada ketakutannya!

"Zizi, terimakasih. Semoga Allah mencintaimu, sebab engkau mencintaiku karena-Nya." Kata Afkar lembut.

Zizi semakin menundukan kepalanya. Tak mengerti apa maksud Afkar. Sedangkan pemuda itu justru bangun dari duduknya, "Kita sholat magrib dulu yuuk.." sambil menunjuk sebuah mushola disebrang jalan.

Afkar mulai melangkahkan kakinya menyebrang jalan. Dan zizi pun mulai bangun dari duduk dan berjalan dibelakang Afkar dengan pikiran yang tak karuan & tak konsentrasi. Malah wanita cantik itu tak melihat ada sebuah truk melintas kencang dari arah selatan.

Seketika darah bercucuran deras dikepala zizi, ia tergeletak tak berdaya dibibir jalan. Afkar teriak histeris "Allahu Akbaaaaar!". Dalam waktu yang singkat zizi sudah berada dipangkuan Afkar, "Zi.. Istighfar. Kamu pasti akan selamat. Kamu harus tahan".

Dengan suara yg hampir tak terdengar zizi memaksakan bibirnya untuk bergerak "Kang, Aku mencintaimu karena Allah". "Aku juga cin... cin… cinta kamu, Zi." Suara Afkar sedikit bergetar. Zizi hanya tersenyum dan menutup matanya pelan.

Tangis Afkar pecah. Membuat pilu siapa saja yang mendengarnya. Tapi setidaknya ia lega karena zizi sudah mendapatkan jawaban yang wanita itu inginkan. Meskipun ia tak benar-benar mencintai zizi. Karena zizi sudah ia anggap sebagai adiknya. Sejak dulu.

Ambulan datang, zizi dibawa kerumah sakit. Tanpa nyawa!

****

"Kang, aku mencintaimu karena Allah." | "Aku juga cinta kamu karena Allah, muzdalifah!" Afkar mencium kening istrinya (1 tahun kemudian)

*tamat*

#Itulah cerita sederhana dan tak sempurna. Maklum, nulisnya lewat twitter yang dibatasi oleh 140 karakter :)

Silahkan follow @kang_onii

Karawang,
22 Agustus 2012.

Jumat, 17 Agustus 2012

Radang Rindu

Mata terpejam sebentar,
Membayangkan satu wajah yang tak asing,
Sel-sel otak memutar kembali satu masa yang pernah terekam,
Masa itu, Masa Lalu..

Semakin ku pejamkan mata,
Gelap pekat meraja,
Tapi disanalah wajahmu semakin jelas terlihat,
Wajahmu memenuhi relung yang pekat itu..

Helaan nafas lembut mewakili kerinduanku padamu..

"Bisakah kita bertemu lagi?"
Tanyaku pada udara yang dingin,
Tak ada jawaban,
Juga tak ada kepastian..

"Apakah waktu masih sudi memberikan ruang untuk kita?"
Tanyaku pada jam yang berjalan,
Tak ada jawaban,
Hanya detik yang memekik..

Rindu,
Aku sudah melupakan kata itu,
Aku terpaksa melupakan semua itu,
Aku memaksa untuk lupa,
Padamu,
Pada rindu yang meradang..



Karawang,
17 agustus 2012.
Sebagian masih disini,
Memilah-memilih langkah,
Menggeleng kepala.

Tak ada yang dinanti, cuma angin!
Sesekali melompat kegirangan, tersenyum :)
Sesekali menangis, tersedu :(

Panas dan hujan.
Tak pernah berada terlalu dekat atau tinggal telalu jauh,
Selalu akan lewat meski tak disangka dan tak diharap...

Depok,
15 juli 2012




Foto : Syafroni Agustik
 
Pilar-pilar penyangga kubah itu
Kokoh memayungi suci sajadah...

Allah, jangan palingkan wajahku dari arah kiblat-MU...

Depok,
15 juli 2012

Foto by: Syafroni Agustik

.....

Lama. Tak sadar waktu berlari dan terus berkejaran dengan pikiran dan khayalku yang tak nyata.

Dan disini. Pada tempat yang asing oleh selaput mata dan perasaan hati yang tak sempurna, Aku masih menatap.

Menyadari seutuhnya telah tiada...

Acehku, acehmu, aceh kita...

Jeritan itu
Tangisan itu
Rasa sakit itu
Semua kesedihan itu...

Aceh akan tetap menjadi aceh
Meski peluru meneror kita
Meski gempa melanda
Meski tsunami itu pernah ada

Aceh akan tetap menjadi Aceh
Serambi kita
Pulau kecil kita
Semua impian kita

Aceh pasti akan tetap menjadi aceh
Karena itu, terima kasihlah kepada Allah
Karena telah menjadikan ini
Acehku, Acehmu, Aceh kita!

#PrayForAceh
Jakarta, 12 April 2012

Ingat Masa Lalu...

Diam pada satu sore di sudut yang tak biasa
Menghirup bau senja
Memandangi bocah-bocah berlarian
Sebentar memejamkan mata.

Kupetik gitar dengan nadanya yang sumbang
Merasuk jauh ke dasar hati, dalam diri!
Memukul gendang yang bernada sember
Sebentar saja aku memejamkan mata.

Jauh, jauh....
Pergi jauh, pergi saja
Kau yang bernada sumbang
Kau yang berbunyi sember

Aku ingin memejamkan mata
Sebentar saja, sebentar!
Pada sore ini
Pada rumah masa kecil ini.

Jakarta, 11 April 2012

Lakukanlah..

Kalau mau melakukan sesuatu.... Lakukan saja!
Tidak usah menunggu matahari terbit atau sampai matahari tenggelam kembali.
Sungguh, karena itu akan lama terasa.

Lakukan saja!
Tidak usah menunggu bau tanah basah di kebun tembakau depan rumahmu itu. Jangan!
Karena kebun tembakau yang dulu kita nikmati bersama kini sudah dipadati oleh rumah-rumah penduduk desa.

Kalau kau mau melakukan sesuatu... Lakukanlah!
Jangan menunggu hujan turun lalu kita menari di bawah hujan seperti dulu. jangan!
Karena zaman ini sudah tidak bisa diprediksi lagi kapan hujan akan turun.

Kalau kau mau....
Lakukan saja.....

Karena aku sudah lelah menunggumu
Di sini
Di punggung nisanmu.....

Tak Semua!

Bukan hati tak mau berkata
Bukan hati tak mau bicara
Bukan pula ini tak bermakna
Ini hanya catatan tentang cinta.

Ketika berbicara tentang cinta
Maka semakin dalam... dalam...
Dan sangat dalam
Namun percayalah tak semua dapat memaknainya.

Kawan, catatan ini bukannya tak bermakna
Bukan!
Kau tahu,
Hanya cinta yang dapat mengerti
Apa makna hati
Apa makna catatan ini

Jakarta, 10 April 2012

Aku tak tahu!

Jika pagi adalah fajar yang menyongsong semangat
Maka mencintai adalah rasa
cinta kamu!

Namun ketika cinta itu kudatangi
Aku tak tahu apa gelagat diri
Aku tak tahu apa maksud hati
Bahkan Punai pun pergi meninggalkan diri ini
disini. Sendiri!

Meski begitu...
Pagi tetap saja akan menjadi pagi meski kau tak menginginkannya

Meski kau tak menginginkan pagi
Meskipun kau tak menginginkan hati ini.

Jakarta, 10 april 2012

RABU!

Ini hari rabu. Ya, hari rabu!
Bukan hari yang special. Bukan hari ulang tahunku. Ataupun hari ulang tahun pernikahanku dengan Bang Hamidi. Bukan!

Ini hari rabu. Aku setengah berlari, sesekali meloncat untuk menghindari tanah yang becek akibat hujan. Nafasku memburu, keningku penuh dengan butiran keringat, sandal jepitku sempat terlepas beberapa kali, jilbabku pun mencong sana-sini. Tak sempat aku membetulkannya.
Ini hari rabu, aku terus berlari. Memasuki gang-gang sempit perkampungan di pinggir kelapa gading, sambil berharap cepat sampai ke rumahku. Ada beberapa orang yang mengenalku menyapa tapi tak ku pedulikan. 

Ini hari rabu!
Ketika ku buka pintu rumahku, ku berharap ada Zizi di sana. Ia menyambutku dengan senyumnya yang khas. Zizi anakku! Kulitnya hitam manis, senyumnya indah, giginya putih bersih, matanya kecokelatan, alis matanya sedikit tipis, rambutnya panjang sebahu. Ada tahi lalat di ujung pipinya. Manis!
Ini hari rabu. Zizi berjanji akan pulang hari ini. Di senja yang telah ku tunggu. Hari rabu! Meskipun hari ini sudah rabu ke tujuh, tapi aku terus berharap anakku akan pulang hari ini.hari rabu!
Iya, Zizi. dia berjanji akan pulang hari rabu. Dan setiap hari rabu juga aku pulang cepat dari pasar dan berharap anakku ada di rumah. tapi ia tidak ada! Kemana perginya anak semata wayangku itu?
Ku buka kembali kertas yang sudah kusam. Warnanya sudah kecokelatan. Ini surat dari zizi. ku baca lagi surat ini dengan tangan bergetar, dan tangiskupun terisak.

“Ibu, Zizi mau pamit. Zizi mau mencari kerja. Ibu tidak usah mencari zizi. Zizi berjanji akan pulang hari rabu.”

Kata tetangga, ia pergi dengan memakai kemeja putih dan celana bahan hitam. zizi sempat pamit dengan tetangga kami. Ia hanya bilang ingin mencari kerja. Waktu itu hari rabu. Sudah tujuh minggu yang lalu.
Aku tahu keinginan Zizi. Selepas sekolah menengah kejuruan, ia ingin sekali melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. “Aku ingin membahagiakan Ibu. Zizi ingin membahagiakan bapak. Memberikan kalian hadiah. Kebahagiaan! Zizi ingin menghidupkan hidup Zizi, Bu” Katanya waktu aku bilang bahwa aku tidak mampu lagi membiayai pendidikannya. Jangankan untuk melanjutkan kuliah, untuk makanpun aku sering meminjam pada tetanggaku di pasar.

Ah, maafkan ibu ini, Nak! Tapi tak perlu lah kau pergi dari rumah. Meninggalkan Ibu & Bapakmu. Biarlah kita hanya menyantap tempe goreng sepotong dan dua butir nasi. Yang penting kita selalu bersama. Dan tak ada orang lain yang tahu tentang kondisi keluarga kita. Kemana dirimu, Nak?
*****
Bang Hamidi baru sampai rumah. Ia baru pulang ngojeg. Wajahnya sedikit muram. Terlihat sangat lelah. Jaketnya semerawut. Ketika ia baru sampai, tampak ragu-ragu untuk masuk ke dalam rumah.
“sudah dapat kabar zizi, bang?” tanyaku. Mungkin, sudah lebih dari puluhan kali aku melontarkan pertanyaan itu pada suamiku.
Bang Hamidi diam
“Bang…?” tanyaku lagi.
Ia tetap diam. Aku pun diam. Seketika hening membunuh kami. Jam dinding tetap berdetak.
Tiba-tiba Bang Hamidi menangis. Ia menangis! Ah.. Selama bertahun-tahun menikah, baru kali ini aku lihat Bang Hamidi menangis.
“ada apa, Bang?”  tanyaku sambil memegangi tangannya yang kasar. Bang Hamidi sangat pekerja keras sampai tidak memperhatikan dirinya.
“Tadi Abang dapat kabar kalau anak kita….” Suaranya tercekat.
Aku menunggu dengan serius. Memeprhatikan setiap kata yang terucap dari bibirnya.
“Zizi….”
“Iya, ada apa dengan Zizi, Bang? Dia sudah berjanji akan pulang hari rabu. Ini kan haru rabu, Bang”
“ Zizi Meninggal. Mayatnya di temukan di daerah bantar gebang. Jauh dari sini.” Suara Bang Hamidi bergetar.
Aku diam.
“Anak kita….”
“Gak mungkin.” Kataku mencoba tak percaya perkataan Bang Hamidi. “ Zizi berjanji pada ibu kalau dia akan pulang hari rabu. Ini hari rabu, Bang. Dia pasti akan pulang. Ibu akan terus menunggu dia. Zizi pasti akan pulang. Hari rabu!" tangisku membanjir.
"Iya, Zizi pulang. anak kita sudang pulang. ia sudah pulang ke rumah Allah. Allah lah pemilik yang kekal. Zizi hanyalah titipan. kita sudah menjaganya dengan baik. jadi, biarkan sekarang Allah yang menjaga Zizi."  kata Bang Hamidi mencoba menegarkanku.

“Ikhlaslah! Bersabarlah!”

Kamis, 16 Agustus 2012

Amak, Aku ingin jadi perantau.

Amak, izinkan aku jadi perantau
Walaupun lika likunya memang berliku
Tak ada ujung sepanjang tatapan
Pilu menghantam hati tak berhulu

Amak, aku ingin jadi perantau
Sebelum bilal mengumandangkan adzan subuh
Sebelum engkau melihatku mati menjijikan
Sebelum mulut-mulut itu menertawakan

Amak, do’akan nanda menjadi perantau ulung
Di cubit, di cabik, di banting terpelanting
Tak akan aku hentikan hentakan kaki ini

Amak, kau tetaplah lembut seperti dulu
Tidrulah yang nyenyak, Mak!
Nanti kubangunkan kau
Setelah aku pulang merantau.

Karawang, 20 januari 2012

Solo Pos "Edisi Terakhir"

EDISI TERAKHIR

Sangat sedih ketika menulis SOLO POS edisi terakhir ini. Tapi, ah, sudahlah.. selamat menikmati!

Di sinilah, di Surakarta ini, Telah terlahir sejuta kenangan..

Aku adalah kata-kata yang takkan selesai
Aku adalah deretan kalimat, yang bertaburan laksana debu
Aku adalah sebuah cerita, dimana kau bersembunyi di sana,
di sudut-sudut yang mengantar mimpimu.

Kawan, sadarkah hari ini kita sudah benar-benar berada pada ranah yang berbeda. Kita sudah berdiri pada titik yang berbeda. Tapi satu yang pasti, kita masih mendapatkan sinar dari matahari yang sama.

Rasanya bukan saatnya lagi kita bersedih pada perpisahan ini => Esa Unggul, Fort de kock, UPN, Cirebon, UMS dan Poltekes Surakarta.

Dalam semua hubungan, entah itu pertemanan atau percintaan, kita bisa saja menemukan 1001 alasan yang kita anggap sebab sebuah perpisahan. Namun aku percaya, penyebab yang paling mendasar selalu sederhana dan alami: memang sudah waktunya! Itu dia! Memang sudah waktunya!

Jika memang sudah waktunya, perpisahan akan menjemput secara alamiah bagaikan ajal. Bungkus dan caranya bermacam-macam, tapi kekuatan yang menggerakkannya satu dan serupa. Tentu dalam prosesnya kita berontak, protes, menyalahkan ini-itu, dan seterusnya. Namun hanya dengan terus berproses dalam aliran kehidupan, kita baru menyadari hikmah di baliknya.

Jadi, semua faktor yang selama ini kita absahkan sebagai penyebab perpisahan, sudah kita sepakati, yaitu SUDAH WAKTUNYA.

Ada yang bicara pada ku “Tidak ada Tuhan yang menyukai perpisahan”. Hah, Bagi ku, Tuhan berada di luar ranah suka dan tak suka. Jika dunia ini berjalan hanya berdasarkan kesukaan Tuhan, dan Tuhan hanya suka yang baik-baik saja, mengapa kita dibiarkan hidup dengan peperangan, dengan air mata, dengan patah hati, dengan ketidakadilan, dengan kejahatan? Mengapa harus ada hitam bersanding dengan putih? Lantas, kalau ada orang yang kemudian berargumen bahwa bagian hitam bukan jatahnya Tuhan tapi Setan, maka jelas Tuhan yang demikian bukan Yang Maha Kuasa. Ia menjadi terbatas, kerdil, dan sempit. Bagi ku, Tuhan ada di atas hitam dan putih, sekaligus terjalin di dalam keduanya. Dan harus kita yakini bahwa Perpisahan ini adalah kehendak Tuhan. Allah Subhanahu wata’ala... kita hanya perlu ikhlas dan sabar dalam menghadapi perpisahan ini.

26 Novemver 2011 adalah momen penyadaran ku. Ku harap kalian demikian. Bahwasannya kita harus Menerima bahwa inilah adanya. Perkembangan yang akhirnya membawa kita ke titik perpisahan. Dan, untuk sampai pada penerimaan itu, kita HARUS bisa saling melepaskan dengan lapang dada, dengan baik-baik, dengan pengertian, dengan kesadaran, dan dengan keikhlasan.

Meski sepertinya keputusan berpisah bukan berada “di tangan kita”, tapi ada sesuatu kekuatan yang tidak bisa dijelaskan, hanya bisa dirasakan.

Lalu, hendak ke mana setelah ini? kita tidak tahu. Apa pun yang menanti kita sesudah ini, itulah tanggung jawab kita. Pahit atau manis. Tak seorang pun yang tahu. Namun inilah pelajaran hidup yang menjadi jatah kita bersama, dan kita harus menerimanya dengan senang hati.

Aku tidak berdagang dengan Tuhan. Setiap detik dalam hidup adalah hadiah. Setiap momen adalah perkembangan baru. Bagi ku, itu sudah cukup. Bagi ku, itulah bentuk kesadaran. dan kita memiliki hidup yang harus kita hidupkan. Kau mengerti, kawan?

Abstrak? Filosofis? Teoritis? Utopis? Aku sangat mengerti mengapa label-label itu muncul. Perpisahan kadang memang sukar dipahami. Hanya bisa dirasakan. Sama gagapnya kita berusaha mendefinisikan Cinta. Pada akhirnya, kita cuma bisa merasakan akibatnya.

Aku kehilanganmu
Atau kau kehilanganku
Entahlah...
Akuhanya ingin mengakhiri apa saja
Juga kata-kata yang tak kunjung reda
Hanya dalam malam ini
Sebelum rembulan membawa kabar dari sunyi...


Syaf Roni

Jakarta, 03 januari 2012.

Solo Pos "Edisi Rindu"

Salam…

Pie Kabare?

Kemarin, Ada seorang sahabat yang bilang “Kapan Nulis SOLO POS lagi?”
Oooopss.. dalam hati ku berbisik “Kapan ya?”
Hheemm.. terlalu banyak yang ingin ku tulis, pikirku, sampai-sampai bingung mau nulis yang mana duluan. Dan sekarang ku persembahkan catatan ringan ini untuk menemani minggu malam kalian di ranah masing-masing. catatannya gak banyak. sedikit aja! lumayan buat cemilan! hhhee

kutitip puisi rindu pada nyanyi angin sendu
agar hati tak kian pilu berharap kaupun rindu.

Rinduku membuncah! Merobek langit!

Ah, aku sudah kepalang rindu ketika ku tulis catatan ini, tapi sungguh, tak ada maksud lain, aku hanya ingin melepaskan sedikit rasa rinduku pada kalian. Semoga kalian tak melupakan aku yaaaa.. tidak melupakan penulis gadungan yang kyut dan paling ganteng ini.. eeeeaaaaaa

Oh ya, barusan aku nulis puisi , tapi mohon maaf, puisi ini terlalu sederhana.

Disini..

Sepiku mengingatkanku kembali

Tentang indahnya kebersamaan
Tentang sedihnya perpisahan

Sahabat..

Tak terasa kini kita tlah jauh

Rasanya baru kemarin kita berbagi canda & tawa
Tapi kini?

Kini hanya berupa segenggam debu penuh makna

Maafkan aku yang kiranya tak sengaja tlah menyayat hatimu

Dan tersenyumlah seindah senyum yang pernah kau tebarkan
Seindah kebersamaan kita.

eh eh, jadi inget saat-saat baru menginjakan kaki di solo. Aku sangat terkejut ketika tahu ada Soto Ayam harganya 4000 rupiah 1 porsi. Gilaaaaaaaaaaaaa… malah ada yang harganya di bawah itu. Ondeh mandeeeeeeeeeeeh (Gaya anak Fort De Kock) hhhhiiii

Solo oh Solo.. begitu banyak kenangan! Begitu banyak cerita! Sampai bingung mana yang mau di tulis duluan! Huuh!

Apa kabar Stikes Cirebon? Fisio UPN? Stikes Fort de Kock? Poltekes Surakarta? UMS? Bagaimana kabar kalian?

Tak sanggup tuk membisu
Hasrat mengharu biru
Dalam lirih ingin bertemu
Dimanakah sahabatku
Bagai menghitung bintang
Bagai menghitung rinai hujan
Aku tidak mampu
Bibirku kelu
Lentera malam, tidak selalu terang
Andai bisa menantang sang surya
Aku pasti berdiri di batas senja ini sekarang!
Kawan, Semoga nanti, kita dapat Menceritakan pengalaman dalam pencapaian asa kita masing-masing, Dengan penuh tawa dan saling berbagi kisah hidup.


Sampai Bertemu Lagi!
Rindukan aku selalu!
Huweeeek… HHhhhiii

HIDUP FISIOTERAPI!
HIDUP ESA UNGGUL!
Eeeeaaaa…


Salam Hangat Selalu dari pojok Jakarta!
11 desember 2011.

Solo Pos "Edisi Merahasiakan Cinta"

Sungguh, Ia berusaha sepenuh hati menenangkan dirinya. Ia berusaha meredam perasaan cinta yang makin membara dalam dirinya. Akan tetapi, sayang, akhirnya ia tak kuasa. Perasaan cintanya malah kian membara. Cintanya terus mendera dalam jiwa.

Mulutnya boleh jadi bungkam seribu bahasa, tetapi tabiatnya begitu fasih berbicara. Semua orang akhirnya tahu, ia sedang di terjang badai cinta. Malah yang tak kenal cinta sekalipun tentu mengerti bahwa ada cinta dalam dadanya. Semua tersirat dalam tatapan matanya.

Suatu hari, ia duduk bersama orang yang memahami isi hatinya. ketika orang yang mengetahui isi hatinya itu berkata bahwa ia tahu sepenuhnya apa yang sedang bergelora dalam dadanya, ia mengelak dan bilang tidak.

Sejurus kemudian, lewat di hadapan mereka sang pujaan yang selama ini mendera dalam dadanya. Seketika ia salah tingkah. wajahnya langsung merona merah. Ia berusaha menenangkan dirinya dengan memotong omongan teman duduknya. namun, ia tetap tak bisa. Ucapannya terbata-bata. ia seolah mengeja kata-kata. dan kala sang pujaan lewat ia di buat panik olehnya.

Air mata cinta mengalir sudah tanpa henti
Dan tirai tersingkap indah sekali
Hatimu layaknya kucing garang saja
Gesit menerkam kala melihat mangsa
Sampai kapan kan kau sembunyikan?
Ungkapkan saja gelagak cintamu


Wassalam..
Dari pojok jakarta
:: Kang Ony ::

Solo Pos

Bismillahirrahmanirrahim
Semoga menjadi awal yang mengawali kebaikan.

Kahlil Gibran pernah berkata “ Ketika tiba saat perpisahan janganlah kalian berduka, sebab, apa yang kalian kasihi darinya mungkin akan tampak lebih nyata dari kejauhan. Seperti gunung yang tampak lebih agung terlihat dari padang & dataran”

Mata ini! Masih saja basah, sepertinya puisi tak hendak sampai ketidur tak berigau ke jaga yang bara. Aku masih ingat betul, bulan lalu, tanggal 30 Oktober 2011 untuk pertama kalinya ku injakkan kakiku di kota surakarta. Aku setengah hati datang ke kota ini. Entah apa alasannya..

Satu hari berlalu, dua, tiga, jiwaku belum seutuhnya berada di kota surakarta ini. Tapi sungguh, aku selalu berusaha untuk seutuhnya berada di sini.

Sebenarnya aku ingin menulis banyak tentang diriku, tentang teman-teman seperjuanganku yang sudah 3 tahun lebih bersama, tentang Fort De Kock, tentang UMS, UPN, Poltekes, Stikes Cirebon dan tentang seseorang yang akan aku lupakan. tapi itu semua akan ku ceritakan nanti, tidak sekarang!

26 November 2011, Di senja merah jambu, Dekan sekaligus Bapak ku & teman-temanku, meminta diriku untuk membacakan do’a sebelum kami kembali ke jakarta. Aku sempat menolaknya, tapi, aaah..

Baru saja do’a itu ku mulai, air mata sudah lebih dulu membasahi dinding pipiku. Kesedihan itu, kesedihan yang luar biasa menguasai diri. Bukannya aku lebay, bukan! Bagaimana mungkin aku tidak menangis? setelah 3 tahun lebih bersama teman-teman seperjuangan, mungkin dalam satu bulan ini aku baru bisa mengerti karakter teman-temanku satu per satu. kami menjadi bagian yang tak terpisahkan walaupun konflik tak bisa di hindari. (Semangat terus untuk Fisioterapi Esa Unggul angkatan 2008)

Mataku terus basah, ketika mengingat sahabat-sahabat baruku, Harry, Darma dan semua teman-teman dari Fort de Kock, teman-teman dari Cirebon, UMS, Poltekes, dan UPN, Air mataku untuk kebersamaan kita selama satu bulan ini.

Bagaimana mungkin matahari berkabung dalam selimut gelap, sedang tak satupun angin bersenandung, ratap perih menggema dalam kotak sunyi berduri, ingin pergi! Ingin lalui! Namun tak satupun kuda hendak bergeming, hanya diam! Tak bicara!

Mungkin satu bulan belum cukup untuk kita saling mengenal, untuk kita bersahabat, tapi percayalah, keikhlasan kita memurnikan kebersamaan kita walau hanya sebulan.

Sahabat adalah keperluan jiwa, yang mesti dipenuhi.
Dialah ladang hati, yang kau taburi dengan kasih dan kau tuai dengan penuh rasa terima kasih.
Dan dia pulalah naungan dan pendianganmu.
Kerana kau menghampirinya saat hati lupa dan mencarinya saat jiwa mau kedamaian.


Takkann pernah ku lupa kebersamaan kita. Terimakasih untuk semuanya (Sahabatku Esa Unggul, Fort de Kock, UMS, Poltekes, Stikes Cirebon, & UPN).

Perpisahan adalah kepastian
Waktu berjalan, tak bisa di mundurkan
Berjalan pelan, tak bisa dimajukan


Jangan kau sedihkan perpisahan ini, kawan! Sesungguhnya perpisahan banyak mengajarkan kita tentang kesabaran, keikhlasan, ketabahan. Tuhan bersama kita! Bersabarlah! Ikhlaslah! Dan tersenyumlah! Subhanallah.. aku tak akan pernah lupa, tak akan! Kebersamaan selama satu bulan ini sangat indah, bahkan terlalu indah!

Terimakasih semuanya.. terimakasih Allah..

Catatan ini ku buat untuk kalian semua. Semoga kita semua dapat bertemu di lain waktu. HIDUP FISIOTERAPI!

Mmmuuuaaacchhh…
Hhhhhiiiii…

Sahabat, waktu telah mengantarkan kita pada satu titik pemahaman
bahwa di dunia ini tak ada yg abadi
Kini saatnya kita harus berjalan sendiri
Melangkah mengikuti takdir yang telah tergariskan
Dalam ruang dan waktu yang berbeda
Ketika kebersamaan menjadi langka
Ketika canda tawa begitu berharga

Sahabat, semoga waktu tak membuat kita lupa
Bahwa kita pernah ada
Pernah punya cerita

Kata Ayah...

Seperti sampan yang mendayung lembut
Kecil, tetapi berani melawan arus
Seperti putih yang suci
Namun tidak pernah takut dengan hitam.

Jarum jam berputar tak pernah berhenti
Karena ia tahu, hanya masa depan yang di tuju
Sebuah patung dewa bertengger di kamarku
Tak hidup, tapi selalu nyata.

Pas foto biru membucah lamunanku
Di sana ada gambar ayah yang telah tiada
Pria itu selalu mengajarkan aku tentang perjuangan
Tentang hidup dalam sebuah angan yang harus di tuju
Itulah ayahku.

Kata ayah
Jadilah Air yang menang dengan mengalah
dia tak pernah menyerang
Namun selalu menang pada akhir perjuangannya.

Tidak seperti buaya
Ia selalu menunggu mangsa tanpa bergerak
Atau seperti harimau
Yang berlari sekuat tenaga tanpa berpikir.

Berjalan Sendiri!

Biarkan Aku berjalan sendiri
Menyusuri sunyi-sunyi menyinggahi tiap tepi
Mari berjalan sendirisendiri

Hari telah senja
Setapak tak cukup lebar buat kita berdua
Hanya untuk sendiri saja
Pematang belum kering

Rentangkan tanganmu ke kanan dan kekiri
Agar kau tak terjatuh
Mari berjalan sendirisendiri

Hari telah senja
Sebentar lagi malam
Kita harus cari pegangan

Oleh-oleh dari Solo

Sepulang praktek di Rumah Sakit Ortopedi DR.R.Soeharso Surakarta..


Di depan Paviliun Wijayakusuma. Aku yang lagi pegang buku warna hijau!


Belanja-belanja dulu di Pusat Grosir Solo


Mejeng di depan Kraton.. yeah!


Sepulang Shalat Iedul Adha di lapangan basket Universitas Nasional Sebelas Maret...

Untuk dikenang.. Selamanya...

Mari!

Mari menabur rindu seperti yang diajarkan para leluhur

lalu terhantuk dalam peluk yang ingin bertemu

beberapa kali pertemuan itu tertunda
oleh tangan-tangan waktu dan kesibukan yang melanda


ini kali, ada yang harus kita korbankan
tak mesti berkompromi dengan kalendar yang kau pajang di dinding kamarmu
temui aku
aku rindu separuh mati

padahal, nafasku terlebih dahulu kutitipkan menemuimu
pada malam! siang! pada setiap helas nafasmu memburu..


jakarta

sebelum naik panggung untuk lomba Solois Religi di Artha Gading - Jakarta


Foto yang ini gak ada matinya deh.. di ambil jam 2 pagi sebelum makan sahur..


makan sahur bersama.. kangen!


pernikahan ams furqon..


GP Tendangan Dari Langit.. Film Bagus!


selesai mengikuti pengajian Ustdz. Yusuf Mansur langsung jalan jalan sore di monas sambil nunggu berbuka puasa.


keluarga ketika narsis bertasbih.


minal aidin walfaidzin..


Baksos!


cowo cowo ganteng... katanya!


21 oktober 2011.